Senin, 26 Desember 2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hasil penelitian Direktorat Dikmenum 1996-1997 (Depdiknas, 2000b:iii) menunjukkan bahwa pembelajaran di sekolah menengah cenderung text book oriented dan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik. Guru biasa menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Akibatnya, motivasi belajar siswa sulit ditumbuhkan dan pola belajar mereka cenderung menghafal dan mekanistik. Kenyataan yang demikian mendorong upaya untuk mengubah model pembelajaran yang ada menjadi pembelajaran kontekstual. Mengapa demikian? Pembelajaran kontekstual sudah teruji keunggulannya, baik terhadap hasil belajar maupun terhadap aspek kognitif lainnya, seperti kemampuan berpikir tinggi, bahkan terhadap sikap dan perilaku.
Pilihan di atas dipengaruhi oleh nuansa paradigma pendidikan yang modern, yang telah mengubah beberapa prinsip pembelajaran. Jika semula arah pembelajaran bersifat behavioristis, yang menekankan pentingnya driil untuk menumbuhkan kebiasaan, kini berubah mejadi pembelajaran yang bersifat konstuktivistis, yang menekankan pentingnya peran kognitif untuk mengonstruksi informasi. Orientasi pembelajaran yang bersifat teacher oriented kini ditinggalkan orang dengan menggantinya ke student oriented. Salah satu penerapan paradigma baru itu adalah pembelajaran kontekstual.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini adapun masalah yang diangkat adalah:
a. Konsep Pembelajaran Kontekstual
b. Pembelajaran Sastra
c. Pembelajaran Sastra Kontekstual


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan atau ditransfer dari suatu permasalahan ke permasalahan yang lain dan dari satu konteks personal, sosial, atu budaya ke konteks lainnya (Johnson, 2002). Pembelajaran kontekstual menyandarkan pada memori spasial. Pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu siswa. Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran ini menerapkan penilaian autentik.
Pembelajaran kontekstual merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Pendekatan ini memberikan pengalaman yang lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan diterapkannya seumur hidup melalui hubungan di dalam dan di luar kelas (Depdiknas, 2002a). Pembelajaran ini berusaha menyajikan suatu konsep yang dikaitkannya dengan konsep materi tersebut digunakan, sehingga pengalaman belajarnya lebih realistis dan biasanya akan berdaya tahan lama.
Menurut Johnson (2002) komponen pembelajaran kontekstual ada delapan, yaitu (1) membuat hubungan bermakna, (2) melakukan pekerjan yang signifikan, (3) belajar menyesuaikan diri, (4) berkolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) pengalaman individual, (7) pencapaian standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. Sementara itu, dalam dokumen Depdiknas (2002b:12-14) dinyatakan bahwa pembelajaran kontekstual menekankan hal-hal berikut: (1) belajar berbasis masalah (problem-based learning), (2) pengajaran autentik (authentic instruction), (3) belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning), (4) belajar berbasis proyek (project-based learning), (5) belajar berbasis kerja (work-based learning), (6) belajar layanan (service learning), dan (7) belajar kooperatif (coperative learning).

2.2 Pembelajaran Sastra

Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993:1). Satra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan cara teknik melisankan melaui tulisan satra. Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain.
Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca (Semi, 1993:1).
Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa. Sastra dapat memengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal.
Dalam pembelajaran sastra, banyak pakar mengeluhkan kelemahan pembelajaran sastra di sekolah, diantaranya adalah materi pembelajaran sastra lebih menekankan hapalan istilah, pengertian sastra, sejarah sastra daripada penagakraban diri dengan karya sastra. Ada kemungkinan guru juga kurang menguasai dunia sastra dan pembelajarannya sehingga mereka tidak mampu mengajarkan. Setiap ada kompetensi yang berkaitan dengan sastra yang seharusnya dikembangkan dari diri siswa, kompetensi ini dilalui begitu saja dan tidak diajarkan. Alat evaluasi untuk pembelajaran sastra juga kurang menantang dan kurang komprehensif. Pembelajaran sastra selama ini masih terasa sulit dan menakutkan bagi siswa. Sudah saatnya pembelajaran sastra jadi pembelajaran yang nyaman, menantang, dan menyenangkan. Kondisi pembelajaran sastra yang kurang mengakrabkan siswa pada karya sastra membuat siswa menjadi rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi.

2.3 Pembelajaran Sastra Kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat. Melalui pendekatan kontekstual, hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran bersifat alami, karena siswa bekerja dan mengalami, bukan sekadar mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil (Nurhadi, 2003:1). Lima bentuk belajar dalam metode kontekstual adalah bentuk belajar relating, experiencing, applying, cooperating, dan transfering. Relating adalah bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata. Experiencing adalah belajar dalam konteks kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi. Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru (Suparno, 2003).
Pembelajaran kontekstual menyandarkan pada memori spasial. pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu siswa. Adanya kecenderungan mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin). Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran ini menerapkan penilaian autentik. Perbedaan dengan pembelajaran yang konvensional dapat dicermati pada uraian berikut:

a. Pembelajaran konvensional
1) Menyandarkan kepada hafalan
2) Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
3) Cenderung berfokus pada guru
4) Cenderung berfokus pada satu bidang (disiplin tertentu)
5) Memberikan tumnpukan informasi kepada siswa pada saat diperlukan
6) Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian dan ulangan



b. Pembelajaran Kontekstual
1) Menyandarkan pada memori spasial
2) Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu siswa
3) Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin)
4) Selalu mengaitkan informasi pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa
5) Menerapkan penilaian otentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah Melalui metode kontekstual dapat ditawarkan berbagai kiat pembelajaran sastra sebagai berikut.

A. Relating
Bentuk pembelajaran sastra ini menekankan belajar sastra dalam konteks kehidupan dan budaya Indonesia. Guru hendaknya mencari bahan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan budaya Indonesia, yaitu mengambil bahan dari karya sastra Indonesia. Pembelajaran semacam ini dalam jangka panjang bertujuan memberikan sumbangan bagi terbentuknya kebudayaan Indonesia yang luhur.
Ada beberapa pengarang yang menggarap lokalitas dengan baik antara lain Y.B. Mangunwijaya dalam Burung-Burung Manyar, Mochtar Lubis yang mengangkat lokalitas Kerinci dalam novelnya Harimau-harimau. Novel Umar Kayam Para Priyayi dengan nuansa kebudayaan Jawa, demikian pula prosa lirik Linus Suryadi A.G. dalam Pengakuan Pariyem, dan sajak-sajak Darmanto Yatman kaya dengan nuansa kebudayaan Jawa.
Kumpulan sajak Taufiq Ismail Benteng dan Tirani, keduanya cocok digunakan untuk mendiskusikan situasi sosial, politik, dan budaya Indonesia pada tahun 1965 dan sesudahnya. Kumpulan puisi Ayat-Ayat Api karya Sapardi Djoko Damono sesuai untuk membicarakan budaya dan kondisi Indonesia masa orde reformasi.
Dalam memilih bahan, guru hendaknya menjadi pendamping bagi siswanya. Bahan hendaknya sesuai dengan usia dan perkembangan jiwa siswa. Bahan-bahan yang merusak moralitas siswa, hendaknya dihindari. Adanya berbagai sumber pembelajaran tersebut di atas, guru dapat leluasa menggunakan bahan itu untuk skenario pembelajaran.
Skenario pertama:
a. Siswa diminta untuk menelaah karya sastra seorang sastrawan. Hasil telaah tersebut dihubungkan dengan kehidupan atau pengalaman nyata siswa, baik yang brekaitan dengan tempat maupun peristiwa yang ada dalam karya sastra.
b. Siswa diminta untuk menggali dan menemukan tempat atau peristiwa yang ada di dalam karya sastra dalam kehidupan nyata guna memperdalam pemahaman siswa terhadap karya sastra yang ditelaah.
c. Siswa diminta untuk menelaah biografi sastrawan yang bersangkutan.
d. Siswa diminta untuk menggunakan hasil telaah biografi sastrawan untuk memahami lebih mendalam karya sastra yang ditelaah.

Skenario kedua:
a. Siswa ditugasi untuk melakukan pengamatan terhadap tempat atau peristiwa yang berkaitan atau yang ada di dalam karya sastra.
b. Siswa diminta untuk menelaah biografi seorang sastrawan.
c. Siswa diminta untuk menelaah karya sastra dengan bekal pemahaman terhadap tempat dan peristiwa yang berkaitan dengan karya sastra serta bekal pengetahuan biografi sastrawan.

B. Experiencing
Ada tiga kegiatan dalam model pembelajaran yakni, (1) pengayaan (generating ideas); (2) penemuan (discovery), dan (3) menulis kreatif (writing).

(1). Pengayaan
Sebelum menciptakan karya sastra, sebaiknya siswa terlebih dahulu memperkaya diri dengan membaca, menonton, mendengarkan apa saja, dan berjalan-jalan serta memperkaya pengalaman. Oleh karena itu, sebelum menulis karya sastra sebaiknya siswa diajak melakukan kegiatan memperkaya pengetahuan. Guru dan siswa mengadakan kegiatan eksplorasi untuk mencari, mengumpulkan, dan memperkaya gagasan. Cara yang mudah untuk mencari gagasan bisa dengan membaca (buku, surat kabar, majalah, artikel, dsb.), mendengarkan (musik, dongeng, orang bercerita, dsb.), melihat (pemandangan, peristiwa, dsb.), mengalami (naik perahu, naik pesawat terbang, mendaki gunung, berbelanja, dsb). Kegiatan eksplorasi ini bisa dipilih salah satu atau digabungkan dengan topik yang sama.
(2). Kegiatan Penemuan (Discovery)
Kegiatan eksplorasi ini ditindaklanjuti dengan kegiatan penemuan (discovery). Kegiatan ini berupa kegiatan penemuan topik atau tema yang dijadikan karya sastra, penemuan kata-kata atau ungkapan yang menjadi pemicu diciptakannya karya sastra. Kegiatan eksplorasi ini juga bisa berupa kegiatan penjabaran ide. Hal ini bisa dilakukan dengan kegiatan (1) curah pendapat (brainstrorming), (2) pengelompokan, dan (3) menulis cepat. Kegiatan ini diakhiri dengan kegiatan penciptaan karya sastra.
(3). Menulis dan Menulis (Creative Writing)
Bentuk pembelajaran ini bertujuan untuk mengajak menciptakan karya sastra. Guru dapat memotivasi siswa bahwa
 menciptakan karya sastra itu mudah,
 menciptakan karya sastra itu menyenangkan,
 menciptakan karya sastra itu menantang,
 menciptakan karya sastra itu menambah percaya diri,
 menciptakan karya sastra itu melatih intelektual,
 menciptakan karya sastra itu melatih emosi, atau
 menciptakan karya sastra itu melatih kreativitas.
Bisa dibayangkan apabila siswa dapat menulis puisi, ia akan banyak peluang
untuk mendapatkan penghargaan dan menjadi lebih percaya diri.

C. Applying
Tujuan kegiatan pembelajaran ini adalah belajar menerapkan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Kegiatan penciptaan karya sastra bisa diikuti dengan kegiatan yang bersifat praktis dan pragmatis. Drama yang telah dibuat bisa ditindaklanjuti dengan pementasan. Puisi, cerpen, atau bahkan novel yang telah dibuat siswa bisa ditindaklanjuti dengan pementasan. Puisi, cerpen, atau bahkan novel yang telah dibuat siswa bisa ditindaklanjuti dengan kegiatan pameran, ditempelkan di majalah dinding, bisa diterbitkan di surat kabar atau majalah sekolah, bisa dikirinkan ke media masa, atau diikutkan dalam lomba penulisan karya sastra. Bila semua siswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, maka harga diri dan rasa percaya diri siswa akan meningkat.
Siswa yang sedang jatuh cinta atau menyatakan rasa sayangnya kepada lawan jenisnya bisa mengirimkan puisi Sapardi Djoko Damono berikut ini

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Siswa yang sedang dirundung putus cinta atau marah, bisa mengirimkan puisi Sutardji Calzoum Bachri

Tapi
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang Cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
Wah!

D. Cooperative (Keoperatif)
Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi. Di sela-sela kegiatan seperti yang dilakukan di atas, sangat dimungkinkan kegiatan wicara yang berupa diskusi dan komentar dari siswa, untuk siswa, dan oleh siswa, bisa dilaksanakan sebagai langkah pematangan penulisan karya sastra.

E. Transferring
Kegiatan pembelajaran ini bertujuan agar siswa dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru. Hal inis sesuai dengan pendapat Damono (1998) bahwa sastra adalah jenis kesenian yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu masyarakat.
Selain cara-cara di atas, ada juga pembelajaran sastra dengan classroom action research yang dapat digunakan untuk "mengujicoba" model-model pengajaran sastra. Orientasi pembelajaran sastra tidak harus bertele-tele dan lelah dengan beragam teori. Salah satu model classroom action research adalah bengkel sastra. Model pengajaran bengkel sastra kemungkinan akan menambah situasi kritis pengajaran sastra yang selama ini hanya sekadar berteori. Bengkel sastra adalah salah satu bentuk kegiatan kesastraan yang berfungsi sebagai sanggar pelatihan untuk mendalami nilai-nilai sastra. Selain itu, bengkel sastra juga berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan dan melatih daya kreativitas siswa serta memperkenalkan proses penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, sasaran kegiatan bengkel sastra adalah siswa dan guru.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cara-cara pembelajaran sastra yang diungkapkan di atas sebenarnya merupakan salah satu alternatif dalam metode kontekstual. Sebenarnya, yang lebih penting adalah guru hendaknya membelajarkan siswa dalam situasi yang nyaman, menyenangkan, dan menantang. Guru hendaknya mengembangkan siswa sesuai dengan kondisi kepribadiannya. Adapun karakteristik pembelajaran berbasis kontekstual adalah sebagai berikut, berdasarkan dunia nyata, berpusat pada siswa, pengetahuan bermakna, memecahkan masalah dan bertanya, pembentukan masayarakat belajar, kerja sama, menyenangkan, menggairahkan, terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif dan kritis-guru kreatif, dinding kelas dan lorong sekolah dipenuhi dengan karya siswa, hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya tes.

3.2 Saran
Dari pembahasan di atas, maka kami menyarankan kepada calon guru agar dapat memahami peserta didik nantinya, saran dan kritik sangat membantu dalam kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo.
---------------------------- . 1998. “Nasib Sastra di Sekolah”, Dalam Basis. No. 01-02,
Januari-Februari 1998.
Darma, Budi. 1984. Solilokui. Jakarta: Gramedia.
Depdiknas. 2002a. Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Taman Kanak-Kanak
Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah: Kebijakan Umum. Jakarta.
-------------. 2002b. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Pembelajaran
Kontekstual. Jakarta.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama
Johnson, Elaine b. 2002. Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks: Corwin
Press, Inc.
Nurhadi. 2003. Pendekatan Kontekstual. Malang: Universitas Negeri Malang.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Suparno. 2003. “Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Kontekstual” Makalah, disajikan dalam Sarasehan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (7-8 Maret 2003

0 komentar:

Posting Komentar